Kata sabar
memang begitu mudah untuk diucapkan, tetapi berat sekali didalam menerapkanya
atau mengamalkanya. Setau saya banyak penemuan dan penelitian menunjukkan bahwa
kesabaran adalah bagian dari identitas pribadi seseorang, karena menjadi orang
sabar itu membutuhkan latihan panjang dan kemampuan mengelola emosi secara
matang.
Kata sabar itu
berasal dari bahasa Arab. Bentuk aslinya adalah shabara dari akar kata
shabara-yashbiru-shabaran, yang memiliki beberapa arti. Salah satu artinya
adalah: tahan menderita sesuatu, susah, tidak lekas marah, tidak patah hati,
tidak lekas putus asa, tenang, tidak tergesa-gesa, tidak terburu nafsu dll.
Arti lainnya adalah: akraha, alzama: memaksa, mewajibkan. Amsaka: menahan,
mencegah.
Di dalam Al
Qur’an terdapat tiga buah kisah tentang ”peristiwa sabar” dalam versi yang
berbeda sekaligus menggambarkan tiga bentuk/macam makna sabar.
Kisah pertama
adalah tentang Nabi Ibrahim, sebagaimana termuat dalam Surat Ash Shafat ayat
100 sampai ayat 111. Ayat ini memuat kisah pengorbanan yang tiada tara
sepanjang sejarah hidup manusia. Seorang yang telah ”tega” menyembelih seorang
anak yang sangat dicintai dan disayanginya. Semua itu dilakukan oleh Ibrahim
karena satu alasan: perintah Allah. Berkaitan dengan perintah ini, sebagai
manusia biasa bukan tidak mungkin hati Ibrahim bergejolak saat menerima
perintah tersebut. Namun sebagai manusia pilihan, dengan ikhlas dan tawakkal,
Ibrahim ”siap” melaksanakan perintah Ilahi. Apa yang dilakukan Ibrahim
merupakan bentuk sabar dalam menaati perintah Allah.
Kisah kedua
adalah tentang Nabi Yusuf, waktu digoda oleh Zulaikha, istri tuannya sendiri.
Yang tertera di dalam surat Yusuf ayat 23 sampai 35. Sebagai laki-laki normal,
sebenarnya Yusuf juga tertarik oleh kecantikan Zulaikha. Hampir-hampir saja Yusuf
terjerumus ke lembah nista, seandainya dia tidak melihat. ”burhan” yaitu
petunjuk yang nyata dari Allah, sehingga nafsu yang sudah bergolak dan berkobar
itu padam seketika. Kisah Nabi Yusuf memberikan indikasi tentang sabar jenis
kedua, yaitu sabar menjauhi maksiat.
Kisah ketiga
adalah tentang Nabi Ayub, yang mendapat ujian dan cobaan yang sangat berat
(Surat Shad ayat 41 s/d 44; Surat Al-Anbiya’ ayat 83). Harta benda habis ludes,
sang istri yang semula setia merawatnya akhirnya tidak tahan lagi dan meninggalkannya.
Duka nestapa dialami Nabi Ayub seorang diri. Namun demikian, Nabi Ayub tidak
pernah mengeluh, tidak pernah mengaduh, apalagi menunjukkan sikap ”jengkel”
terhadap Allah yang telah menimpakan ujian dan cobaan demikian hebatnya. Dikala
derita sampai pada puncaknya dan rasa sakit yang luar biasa pedihnya, dengan
bibir gemetar dan suara yang nyaris tidak terdengar, Nabi Ayub munajat ke
hadirat Ilahi: Ya Rabbi, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkaulah
Yang Paling Penyayang. Alangkah halus dan lembutnya doa permohonan Nabi Ayub.
Dia ”hanya melaporkan” bahwa penyakit yang dideritanya sudah sangat berat dan
membahayakan jiwanya. Nani Ayub tidak terus-terang memohon diberi kesembuhan
oleh Allah. Dia hanya memuji dan ”melaporkan” saja. Soal sembuh atau tidak itu
urusan Allah.
Berkat
kesabaran Ayub yang luar biasa, akhirnya Nabi Ayub diberi kesembuhan, diganti
lagi anak-anak dan harta yang telah lenyap dengan yang lebih baik dan lebih
banyak, termasuk kembalinya sang istri yang sangat dicintainya.
Dengan
demikian, dapat dikatakan ada beberapa jenis sabar. Pertama, sabar melaksanakan
perintah atau taat. Kedua, sabar menjauhi maksiat. Ketiga, sabar menghadapi
musibah.
Semoga kita
senantiasa selalu berusaha dalam keadaan sabar tetkala menjalani kehidupan yang
mubarok ini. sehingga kita termasuk orang-orang yang sabar, karena kita tau
"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang sabar".
Amiiin...
(Saudara2ku
yang budiman budayakan berkomentar walau sa' kata.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar